Hubungan Kerajaan Sriwijaya Dengan Luar Negeri

Candi Biora Bahal merupakan salah satu bukit adanya Kerajaan Sriwijaya (Foto: @ Dgabetasolin)
ALUKTA OKY -- Sumatera merupakan pulau besar di Indonesia bagian barat yang terdekat letaknya dengan daratan Asia Tenggara. Di antara Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu, Suatu Jazirah yang merupakan bagian dari daratan Asia Tenggara, Hanya terdapat sebuah selat yang tidak begitu lebar, yaitu Selat Malaka. Kedudukan Geografis ini merupakan suatu factor yang besar pengaruhnya pada sejarah yang dialami oleh pulau ini.

Dari berita Cina Abad V dapat diketahui adanya sebuah Negara yang di sebut Kan-t’o-li. Letaknya di sebuh pulau di laut Selatan. Menurut para penenliti, Kan-t’o-li adalah sebuah Negara di sumatera. Kan-t’o-li mengirimkan utusan ke Negara Cina sejak abad V hinggap kurang lebih pertengahan abad VI. Setelah itu namanya tidak di sebut-sebut lagi dalam berita Cina. Nama ini baru muncul kembali pada abad XIV dalam berita Cina yang menjelaskan bahwa Sriwijaya pada waktu dahulu di sebut Kan-t’o-li.

Berita terakhir sebelum Abad XIV mengenai Kan-t’o-li ialah mengenai kedatangan utusan dari negeri ini di Cina pada tahun 563. Berita Cina yang menyebut kedatangan utusan dari Sumatera yang berikutnya berasal dari tahun 644 atau awal 645 M. Negara yang mengirim utusan tadi di sebut Mo-lo-yeu. Dalam berita-berita Cina selanjutnya tidak ada sebutan tentang sebuah negeri di sumatera yang mengirimkan utusan ke negeri Cina kecuali Sriwijaya. Hubungan yang erat antara Sriwijaya dengan istana kaisar Cina merupakan salah satu ciri dari sejarahnya. 

Hubungan antara Sriwijaya dengan negeri di luar Indonesia bukan hanya dengan Cina. Sebuah prasasti raja Dewapaladewa dari Bengala, yang dibuat pada akhir Abad IX menyebutkan sebuah biara yang dibuat atas perintah Balaputradewa, maharaja dari Suwarnadwipa. Prasasti ini dikenal dengan sebutan prasasti Nalanda.

Sebuah prasasti raja Cola lainnya, yaitu prasasti dari Rajaraja I, di India selatan menyebut Marawijayottunggawarman raja dari Kataha dan Sriwijaya telah memberikan hadiah sebuah desa untuk di abdiakan kepada sang Buddha yang di hormati di dalam Cudamanivarmavidara, yang telah didirikan oleh ayahnya di kota Nagipattana ( Nagapatam sekarang). Prasasti ini terdiri dari dua bagain, yaitu bagian yang berbahasa Sansekerta, yang dibuat pada tahun 1044 dan bagian yang berbahas Tamil, yang dibuat pada tahun 1046. Selain hubungan baik dengan kerajaan Cola tadi, ada pula perang antara kedua kerajaan ini, yaitu pada masa pemerintahan raja pengganti I, yang bernama Rajendracoladewa I.

Berbeda dengan hubungan luar negeri kerajaan-kerajaan lain di Idonesia, jelas sekali bahwa hubungan luar negeri Sriwijaya lebih aktif sifatnya. Bukan hanya di India Sriwijaya menaru minat pada bagunan agama,  tetapi juga di negeri Cina. Pada awal abad XI, maharaja Sriwijaya memperbaiki sebuah kuil Tsoist di kanton. Karya-karya I-tsing yang ditulis di Sumatera pada tahun 689 dan 692 menunjukkan betapa mashurnya Sriwijaya sebagai pusat agama Buddha. Pertumbuhan pusat itu hanya mungkin jika negeri itu terbuka untuk hubungan dengan luar negeri. Hubungan luar negeri yang demikian aktif dari Sriwijaya tentu bukan suatu hal yang tidak bermakna. Hal itu tidak akan terjadi jika tidak disebabkan oleh sesuatu kepentingan tertentu.

Kemashuran Sriwijaya sebagai pusat pengajaran Buddha tentu bukan hasil suatu perkembangan dalam waktu yang singkat, dan selanjutnya juga tidak hilang begitu saja. Raja-raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama Buddha tentu bukan hasil suatu perkembangan dalam waktu yang singkat, dan selanjutnya juga tisak hilang begitu saja. Raja-raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama Buddha dan penganut yang taat. Hal ini ternyata dari berbagai usaha untuk kepentingan agama ini, yang sampai meluas ke luar negeri. Kecuali tindakan-tindakan nyata tadi, yang dapat diketahui dari prasasti Nalanda dan prasasti Leiden, dalam berita Cina juga terdapat uraian mengenai ketaatan Sriwijaya terhadap agamanya, yaitu agama Buddha.

I-tsing mengatakan, bahwa di negeri Fo-shin yang dikelilingi oleh benteng, ada lebih dari seribu orang pendeta Buddha yang belajar agama Buddha seperti halnya yang di ajarkan di India (Madhyadesa). Jika seorang pendeta Cina yang ingin belajar ke India, untuk mengerti dan membaca Kitab Buddha yang asli di sana, ia sebaiknya belajar dahulu setahun dua tahun di Fo-shih, baru setelah itu ia pergi ke India. Pada waktu kembali belajardi Universitas Nalanda (India), I-sting tinggal di Fo-shih selama empat tahun, yaitu antara tahun 685 dan 689, untuk menterjemahkan kitab Buddha dari Bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Cina. Rupanya pekerjaan itu terlalu berat untuknya, karena itu ia pulang ke Kanton pada tahun 689 dan kembali lagi ke Sriwijaya bersama dengan empat orang pembantunya. Di Sriwijaya ia menulis bukunya (2 buah). Tahun 692 ia mengirim kedua bukunya ke Cina, sedangkan ia sendiri kembali ke negerinya pada tahun 695.

0 Response to "Hubungan Kerajaan Sriwijaya Dengan Luar Negeri"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel