Sejarah Perpindahan Ibukota Kerajaan Kalingga Dari Jawa Tengah Ke Jawa Timur
![]() |
photo by: Aflindanti |
Masalah sekarang siapakah Ki-yen itu, dan
apa sebabnya ia memindahkan pusat kerajaannya. Di atas telah dikatakan bahwa
perpindahaan pusat kerajaan itu biasanya terjadi apabila kota itu telah di
serbuh oleh musuh. Tetapi antar tahun 742-755 itu tidak ada satu sumber pun
yang memberikan adanya serangan. Apa yang kira-kira terjadi antara itu ialah
pergantian pemerintah dari Sanjaya ke Rangkai Panangkaran. Tapi kalau San-khara
itu dapat di identifikasikan dengan Rangkai Panangkaran – sehinggap nama
lengkap raja ini ialah Rangkai Panangkaran Dyah Sankhara Sri
Sanggramadhananjaya – maka pengganti itu di sertai pula dengan pergantian agama
yang di anut oleh raja; dan ini mungkin dapat menimbulkan pergolakkan. Munngkin
masih ada anggota keluarga raja yang lain yang msih taat kepada agama
leluhurnya, yaitu agama siwa, dengan mungkin masih mempertahankan guru mereka.
Mungkin juga Bhanu di dlam prasasti Hampran itu sala seorang aggota Wangsa
Sailendra yang di serahi sebagai penguasa daerah, yang masih tetap menganut
agama Siwa. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 105).
Apakah Ranngkai Panangkaran yang
memindahkan pusat kerajaannya lebih ke timurdari daera Kedu, yaitu lembah di
lereng gunung merapi? Kesulitannya ialah bahwa kita pertama-tama harus tahu
dahulu dimana etak She-p’o-tch’eng (yawapura), pusat kerajaan Rangkai Watukura
Dyan Balitung. Apakah di daerah kedu, ataukah di daerah sekitar prambanan,
ataukah dia daera sekitar Purwodado-Grobogan?, yang terang sudah tidak lagi di
daerah pekalongan / Banyumas. Andaikata dapat di tunjukkan bahwa Ragkai
Watukura berpusat kerajaannya di kedu mengingat gelar rakai-nya yang meunjukkan
bahwa ia mempunyai daerah lungguh di daerah kedu selatan, maka mungkin sekali
Rangkai Panangkaran telah memindahkan pusat kerajaannya ke sekiitar prambanan,
atau di daerah purwodadi – Grobogan. Sebab seperti yang akan di kemukakan di
belakang Ragkai Panangkaran telah membangun berbagai candi, antaranya candi
Sewu yang mestinya berfungsi sebagai Candi kerajaan, khusus untuk pemujaan dewa
tertinggi, yaitu Manjusri, dan candi kalasa. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 105).
Dengan uraian di atas seolah-olah kita
sudah mengidentifikasikan Ki-yen dengan Rangkai Panangkaran. Seperti telah di
tunjukkan oleh L.C. Damais mungkin sekali Ki-yen itu tidak lengkap, mestinya
Lo-ki-li-yen, yang merupakan traskripsi dari gelar rakarayan, atau Lo-ki-yen
yang merupakan transkripsi dari rakryan. Jadi Ki-yen bukan nama, tetapi hanya
gelar, maka bisa di identifikasikan dengan siapa yang bergelar rakarayan.
Mengenai lokasi p’o-lu-chia-sse memang belum di dapat penyelesaianya yang
memuaskan. Yang dapat dikatakan di sini barulah bahwa p’o-lu itu dapat
merupakan transkripsi dari waru. Nama tempat waru atau yang mengandung unsur waru memang banyak
sekali, baik dari jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tetapi kalau kita menganut
uraian di atas, mungkin kita harus mencari waru di sekitar Rempang, karena
memenuhi syarat dekat dengan Krapyak, suatu tempat yang sering di kunjungi raja
unntuk menikmati pemandangan laut. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 105).
Tetapi bagaimana kalau ternyata bahwa Rakai
Watukura Dyan Balitung bertahta di daerah Prambanan atau Purwodadi/Grobogen?
Tentulah harus di bayangan bahwa nenek moyangnya telah memindahkan pusat
kerajaan lebih ke timur lagi, mungkin sampai ke jawa timur. Dalam hal ini
perluh di kemukakan bahwa hinggap kini para sarjana cenderung untuk
menghubungkan berita perpindahan pusat kerajaan Ho-ling ke timur itu dengan
munculnya prasasti Dinoyo di daerah Malang yang berangka tahun 682 saka
(21-XI-760 M.). (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 106).
Di dalam prasasti Dinoyo itu di peringati
pembuatan Arca Agastya dari batu hitam dengan bangunan candinya, sebagai ganti
Candi Agastya yang telah dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu Cendana, oleh
Raja Gajayana. Gajayana ialah anak raja Dewasingha yangtelah memerintah
kerajaan di bawah naugan api purtikeswara. Setelah Dewasingha mangkat anaknya
yang semulah bernama Limwa, menggantikan duduk di atas tahta kerajaan
Kanjuruaan, dengan nama Gajayana. Ia beranak perempuan yang bernama Uttejana,
yang kawin dengan Jananiya. Gajayana memang pemuja Agastya, dan seteah ia
melihat arca Sang Maharsi yang dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu cendana,
maka ia memerintahkan kepada para pemahat untuk membuat arca batu hitam yang
indah dan bersama pembesar dan rakyat ia memerintahkan pembangunan sebuah candi
yang indah untuk sang Agastya. Maaka pada hari jumat tanggal 21 november 760
M., arca itu ditahbiskan oleh para pendeta yang faham akan kitab-kitab veda,
beserta para petapa, para sthapara dan rakyat. Pada kesepatan itu juga
mengakugrahkan sebidang tanah, sapi yang gemuk-gemuk dan sejumlah kerbau, dan
budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaganya., demikian pula raja menganugrahi sesuatu untuk keperluan para
pendeta, seperti untuk keperluan pemujaan api dan untuk persembahan caru bagi
Sang Maharesi, dan untuk keperluan penyuciaan diri dan sebuah bangunan yang
besar yang permai untuk tempat istirahat par pengunjung, lengkap dengan
persediaan padi Jelai, tempat tidur dan pakaian. Dua bait terakhir prasasti ini
berisi kutukan bagi mereka yang tidak menjujung tinggi amatat raja, dan sebaliknya
mengharapkan kesejatraan bagi mereka yang ikut memperbesar jasa dengan
memelihara bangunan suci itu beserta segenap kelengkapannya. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 107).
Poerbatjarakka mengidentifikasikan Gajayana
dengan Ki-yen di dalam berita cina yang memindahkan pusat kerajaan Ho-ling ke
timur. Fonetis identifikasi yang lebih mendasar, yaitu kenyataan bahwa di dalam
prasasti ini di sebut-sebut arca Agastya dari kayu cendana yang telah di buat
oleh nenek moyang raja Gajayana. Lain dari pada itu dari kata-kata di dalam
prasasti terbayang bahwa sebelumnya raja Dewasigha, ayahnya, telah memerintah
dengan tenang di kerajaan Kanjuruan, jadi tidak mungkin kiranya Gajayana di
identifikasikan sebagai Ki-yen. Bahkan mungkin harus di simpulkan bahwa
kerajaan Kanjuruan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kerajaan
Ho-ling dan atau mataram di jawa tengah., yaitu apabila kita beraggapan bahwa
yang di maksud dengan arca Agastya dari kayu cendana yang telah dibuat oleh
nenek moyang raja Gajayana itu tidak lain daripada sebuah patung pemujaan nenek
moyang yang biasa dibuat oleh kesatuan masyarakat yang belum menganut agama
hindu/Buddha, jadi semacam mulabera, yang kemudian, setelah kelompok itu
menganut kebudayaan india dan berkembang menjadi suatu kerajaan, di tingkatkan
menjadi semacam patung dewaraja. Kalau demikian halnya maka Dewasingha dan Gajayana
itu ialah keturunan kepala daerah yang menguasai Kenjuro dan sekitarnya, yang
telah mengangkat dirinya menjadi raja dalam gaya india, lengkap dengan
upacara pentahbisannya. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 108).
Tidak lama kemudian kerajaan Kanjuruan di
taklukkan oleh kerajaan mataram oleh Rakai Watukara , karena dari raja ini kita
mendapatkan prasasti kubu-kubu tahun 827 saka(17-X-905 M.), yang menyebut bahwa
pada jaman pemerintahan telah terjadi penyerangan ke Banten, dan Banten dapat
di kalahkan. Berdasarkan nama-nama tempat yang lain di dalam prasasti ini
mungkin Banten itu harus dicari di daerah Jawa Timur. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 108).
Mungkin ini saja pembahasan mengenai
perpindahan kerajaan Ho-ling ke timur, semoga artikel ini bermamfaat!!!
Referensi:
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Referensi:
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
0 Response to "Sejarah Perpindahan Ibukota Kerajaan Kalingga Dari Jawa Tengah Ke Jawa Timur"
Post a Comment