Sejarah Perpindahan Ibukota Kerajaan Kalingga Dari Jawa Tengah Ke Jawa Timur


photo by: Aflindanti
Alukta Oky -- Prasasti Hampran dan prasasti sankhara itu berasal dari suatu masa yang bersamaan dengan terjadinya perpindahan ibu kota Ho-ling dari She-p’o-tch’eng Ke P’o-lu-chia-sse, seperti yang tertera dari berita Cina dari jaman rajakula T’ang. Seperti telah di sebutkan di atas berita Cina itu mengatakan bahwa raja Ho-ling tinggal di kota She-p’o, tetapi nenek moyangnya yang bernama Ki-yen telah  memindahkan ibukotanya ke timur, ke P’o-lu-chia-sse. Dan karena selanjutnya di ssebut ta-tso-kan-hiung, yang oleh Boechari di tafsirkan sebagai “Daksa, saudara / raja / yang gagah berani. Maka dapat di simpulkan bahwa yang di maksud di sini ialah Rangkai Watukura Dyah Balitung, yang memerintah antara tahun  899-911 M.  (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 104).

Masalah sekarang siapakah Ki-yen itu, dan apa sebabnya ia memindahkan pusat kerajaannya. Di atas telah dikatakan bahwa perpindahaan pusat kerajaan itu biasanya terjadi apabila kota itu telah di serbuh oleh musuh. Tetapi antar tahun 742-755 itu tidak ada satu sumber pun yang memberikan adanya serangan. Apa yang kira-kira terjadi antara itu ialah pergantian pemerintah dari Sanjaya ke Rangkai Panangkaran. Tapi kalau San-khara itu dapat di identifikasikan dengan Rangkai Panangkaran – sehinggap nama lengkap raja ini ialah Rangkai Panangkaran Dyah Sankhara Sri Sanggramadhananjaya – maka pengganti itu di sertai pula dengan pergantian agama yang di anut oleh raja; dan ini mungkin dapat menimbulkan pergolakkan. Munngkin masih ada anggota keluarga raja yang lain yang msih taat kepada agama leluhurnya, yaitu agama siwa, dengan mungkin masih mempertahankan guru mereka. Mungkin juga Bhanu di dlam prasasti Hampran itu sala seorang aggota Wangsa Sailendra yang di serahi sebagai penguasa daerah, yang masih tetap menganut agama Siwa. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 105).

Apakah Ranngkai Panangkaran yang memindahkan pusat kerajaannya lebih ke timurdari daera Kedu, yaitu lembah di lereng gunung merapi? Kesulitannya ialah bahwa kita pertama-tama harus tahu dahulu dimana etak She-p’o-tch’eng (yawapura), pusat kerajaan Rangkai Watukura Dyan Balitung. Apakah di daerah kedu, ataukah di daerah sekitar prambanan, ataukah dia daera sekitar Purwodado-Grobogan?, yang terang sudah tidak lagi di daerah pekalongan / Banyumas. Andaikata dapat di tunjukkan bahwa Ragkai Watukura berpusat kerajaannya di kedu mengingat gelar rakai-nya yang meunjukkan bahwa ia mempunyai daerah lungguh di daerah kedu selatan, maka mungkin sekali Rangkai Panangkaran telah memindahkan pusat kerajaannya ke sekiitar prambanan, atau di daerah purwodadi – Grobogan. Sebab seperti yang akan di kemukakan di belakang Ragkai Panangkaran telah membangun berbagai candi, antaranya candi Sewu yang mestinya berfungsi sebagai Candi kerajaan, khusus untuk pemujaan dewa tertinggi, yaitu Manjusri, dan candi kalasa. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 105).

Dengan uraian di atas seolah-olah kita sudah mengidentifikasikan Ki-yen dengan Rangkai Panangkaran. Seperti telah di tunjukkan oleh L.C. Damais mungkin sekali Ki-yen itu tidak lengkap, mestinya Lo-ki-li-yen, yang merupakan traskripsi dari gelar rakarayan, atau Lo-ki-yen yang merupakan transkripsi dari rakryan. Jadi Ki-yen bukan nama, tetapi hanya gelar, maka bisa di identifikasikan dengan siapa yang bergelar rakarayan. Mengenai lokasi p’o-lu-chia-sse memang belum di dapat penyelesaianya yang memuaskan. Yang dapat dikatakan di sini barulah bahwa p’o-lu itu dapat merupakan transkripsi dari waru. Nama tempat waru  atau yang mengandung unsur waru memang banyak sekali, baik dari jawa Tengah maupun Jawa Timur. Tetapi kalau kita menganut uraian di atas, mungkin kita harus mencari waru di sekitar Rempang, karena memenuhi syarat dekat dengan Krapyak, suatu tempat yang sering di kunjungi raja unntuk menikmati pemandangan laut. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 105).

Tetapi bagaimana kalau ternyata bahwa Rakai Watukura Dyan Balitung bertahta di daerah Prambanan atau Purwodadi/Grobogen? Tentulah harus di bayangan bahwa nenek moyangnya telah memindahkan pusat kerajaan lebih ke timur lagi, mungkin sampai ke jawa timur. Dalam hal ini perluh di kemukakan bahwa hinggap kini para sarjana cenderung untuk menghubungkan berita perpindahan pusat kerajaan Ho-ling ke timur itu dengan munculnya prasasti Dinoyo di daerah Malang yang berangka tahun 682 saka (21-XI-760 M.). (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 106).

Di dalam prasasti Dinoyo itu di peringati pembuatan Arca Agastya dari batu hitam dengan bangunan candinya, sebagai ganti Candi Agastya yang telah dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu Cendana, oleh Raja Gajayana. Gajayana ialah anak raja Dewasingha yangtelah memerintah kerajaan di bawah naugan api purtikeswara. Setelah Dewasingha mangkat anaknya yang semulah bernama Limwa, menggantikan duduk di atas tahta kerajaan Kanjuruaan, dengan nama Gajayana. Ia beranak perempuan yang bernama Uttejana, yang kawin dengan Jananiya. Gajayana memang pemuja Agastya, dan seteah ia melihat arca Sang Maharsi yang dibuat oleh nenek moyangnya dari kayu cendana, maka ia memerintahkan kepada para pemahat untuk membuat arca batu hitam yang indah dan bersama pembesar dan rakyat ia memerintahkan pembangunan sebuah candi yang indah untuk sang Agastya. Maaka pada hari jumat tanggal 21 november 760 M., arca itu ditahbiskan oleh para pendeta yang faham akan kitab-kitab veda, beserta para petapa, para sthapara dan rakyat. Pada kesepatan itu juga mengakugrahkan sebidang tanah, sapi yang gemuk-gemuk dan sejumlah kerbau, dan budak laki-laki dan perempuan sebagai penjaganya., demikian pula raja  menganugrahi sesuatu untuk keperluan para pendeta, seperti untuk keperluan pemujaan api dan untuk persembahan caru bagi Sang Maharesi, dan untuk keperluan penyuciaan diri dan sebuah bangunan yang besar yang permai untuk tempat istirahat par pengunjung, lengkap dengan persediaan padi Jelai, tempat tidur dan pakaian. Dua bait terakhir prasasti ini berisi kutukan bagi mereka yang tidak menjujung tinggi amatat raja, dan sebaliknya mengharapkan kesejatraan bagi mereka yang ikut memperbesar jasa dengan memelihara bangunan suci itu beserta segenap kelengkapannya. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 107).

Poerbatjarakka mengidentifikasikan Gajayana dengan Ki-yen di dalam berita cina yang memindahkan pusat kerajaan Ho-ling ke timur. Fonetis identifikasi yang lebih mendasar, yaitu kenyataan bahwa di dalam prasasti ini di sebut-sebut arca Agastya dari kayu cendana yang telah di buat oleh nenek moyang raja Gajayana. Lain dari pada itu dari kata-kata di dalam prasasti terbayang bahwa sebelumnya raja Dewasigha, ayahnya, telah memerintah dengan tenang di kerajaan Kanjuruan, jadi tidak mungkin kiranya Gajayana di identifikasikan sebagai Ki-yen. Bahkan mungkin harus di simpulkan bahwa kerajaan Kanjuruan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kerajaan Ho-ling dan atau mataram di jawa tengah., yaitu apabila kita beraggapan bahwa yang di maksud dengan arca Agastya dari kayu cendana yang telah dibuat oleh nenek moyang raja Gajayana itu tidak lain daripada sebuah patung pemujaan nenek moyang yang biasa dibuat oleh kesatuan masyarakat yang belum menganut agama hindu/Buddha, jadi semacam mulabera, yang kemudian, setelah kelompok itu menganut kebudayaan india dan berkembang menjadi suatu kerajaan, di tingkatkan menjadi semacam patung dewaraja. Kalau demikian halnya maka Dewasingha dan Gajayana itu ialah keturunan kepala daerah yang menguasai Kenjuro dan sekitarnya, yang telah mengangkat dirinya menjadi raja dalam gaya india, lengkap dengan upacara  pentahbisannya. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 108).

Tidak lama kemudian kerajaan Kanjuruan di taklukkan oleh kerajaan mataram oleh Rakai Watukara , karena dari raja ini kita mendapatkan prasasti kubu-kubu tahun 827 saka(17-X-905 M.), yang menyebut bahwa pada jaman pemerintahan telah terjadi penyerangan ke Banten, dan Banten dapat di kalahkan. Berdasarkan nama-nama tempat yang lain di dalam prasasti ini mungkin Banten itu harus dicari di daerah Jawa Timur. (Poesponegoro dan Notosusanto , 1993: 108).

Mungkin ini saja pembahasan mengenai perpindahan kerajaan Ho-ling ke timur, semoga artikel ini bermamfaat!!!



Referensi:

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

0 Response to "Sejarah Perpindahan Ibukota Kerajaan Kalingga Dari Jawa Tengah Ke Jawa Timur"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel