Kehidupan Masyarakat Dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Kalingga Di Jawa Tengah


salah satu candi peninggalan kerajaan Kalingga, (photo by: Aftarlin)

Alukta Oky -- Munculnya wangsa sailendra itu bersamaan dengan perubahan dalam penyebutan Jawa di dalam berita Cina. Kalau sebelumya, yaitu dalam Abad V M., berita-berita cina dari dinasti Sung Awal (420-470 M.) menyebut jawa dengan sebutan She-p’o, berita Cina dari dinasti T’ang (618-906 M.), menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling sampai tahun 818 M, untuk kemudian berubah lagi menjadi She-p’o mulai tahun 820 sampai 856 M. seperti telah di katakana di atas prasasti Sojomerto itu munkin sekali berasal dari pertengahan Abad VII M., dan berita cina yang pertama kali menyebut Ho-ling berasal dari tahun 640 M. berita-berita dari jaman Dinasti T’ang yang sampai kepada kita dalam dua versi, yaitu Ch ‘iu-T ang shu dan Hsin T’ang shu (618-906 M.) memberitakan tentang Ho-ling antara lain sebagai berikut: Ho-ling yang juga di sebut She-p’o, terletak di lautan selatan. Di sebelah timurnya terdapat P’o-li dan di sebelah baratnya terletak To-p’o-teng. Sebelah selatannya ialah lauttan, sedangkan di sebelah utara terletak Chen-la. Tembok kota di buat dari tonggak-tonggak kayu. Raja tinggal di sebuah bagunan besar bertingkat, beratapkan daun palem (?), dan ia duduk di atas bangku yang terbuat dari gading. Di pergunakan pula tikar yang terbuat dari bambu. Kalau makan orang tidak menggunakan sendok atau sumpit, tetapi dengan tangan saja penduduknya mengenal tulisan dan sedikit tentang ilmu perbitangan. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993:94).

Ho-ling menghasilkan kulit Penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Kerajaan ini amat makmur; ada sebuah gua(?)yang selalu mengeluarkan air garam (bledung, Jw). Penduduk membuat minuman keras dari bunga kelapa (atau bunga aren). Bunga pohon ini panjagnya dapat mencapi tiga kaki, dan besarnya sama dengan tangan orang. Bunga ini di potong, dan airnya di tampungdi jadikan minuman keras; rasanya amat manis, tetapi orang cepat sekali mabuk di buatnya. Di Ho-ling banyak wanita yang berbisa: apalagi orang mengadakan hubunngan kelamin dengan wanita-wanita itu, ia akan luka-luka bernanah dan akan mati, tetapi mayatnya tidak membusuk. (Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993: 94)).

Di daerah pegunungan ada sebuah daerah yang bernama Lang-pi-ya; raja sering pergi ke sana utuk menikmati pemandangan ke laut. Apabila pada pertengahan musim panas orang mendirikan gnomon setinggi 8 kaki, bayanganya akan jatu ke sebelah selatannya, dn panjangnya dua kaki empat inci.(Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993: 94)).

Dalam masa Chen-kuan (627-649 M.) raja Ho-ling, bersama dengan raja To-ho-lo dan To-p’o-teng, mengirim utsan ke Cina menyerahkan upeti. Kaisar  memberi surat jawaban dengan di bubuhi cap kekaisaran, dan ketika utusan dari To-ho-lo minta kuda-kuda yang baik, permintaan itu di kabulkan oleh kaisar. Utusan dari Ho-ling datang lagi pada tahun 666,767, dan 768. Utusan datang pada tahun 813 mempersembahkan empat budak sheng-chin, burung kakatua yang bermacam-macam warnanya, burung p’in-chia(?) dan benda-benda yang lain. kaisar amat berkenan di hati, dan memberikan anugrah gelar kehormatan kepada utusan itu. Utusan mohon agar gelar itu di beri saja kepada adiknya kaisar amat terkesan akan sikap itu, dan memberi anugrah gelar kehormatan kedua-duanya. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993: 94).

Pada tahun 674 M, rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu yaitu His-mo. Pemerintahannya amat baik, keras dan adil; barang-barang yang terjatu di jalan tidak ada yang berani menyentuhnya. Pada waktu raja orang-orang Ta-shih mendengar berita semacam itu, ia mengirim pundi-pundi emas untuk di letakkan di jalan di Negara ratu His-mo. Setiap orang yang melewati menyikir; demikianlah maka seama tiga tahun pundi-pundi itu tidak ada yang menyentuhnya. Pada suatu hari putra mahkota yang lewat di situ tanpa sengaja telah menjinjaknya. Ratu sangat marah, dan akan memerintahkan hukuman mati terhadap putra mahkota. Para menteri mohon pengampunan baginya. Tetapi ratu mengatakan bahwa karena yag bersalah ialah kakinya, maka kaki itu harus dipotong. Sekali lagi para menteri mohon pengampunan, akhirnya ratu memerintahkan agar jari-jari kaki putra mahkota itu yang dipotong, sebagai peringatan bagi penduduk seluruh kerajaan. Mendengar hal itu raja Ta-shih takut dan megurungkan niat menyerang kerajaan His-mo. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993: 95).

Raja tinggal di kota She-p’o, tetapi leluhurnya yang bernama Ki-yen telah memindahkan pusat kerajaannya ke timur, ke kota p’o-lu-chia-ssu. Di sekeliling She-p’o ada 28 kerajaan kecil, dan tidak ada di antaranya yang tidak tunduk. Ada 32 pejabat tinggi kerajaan, dan yang terutama di antara mereka ialah ta-tso-kan-hsiung. Menurut beruta dalam Ying-huan-tche- lio perpindahan itu terjadi pada masa T’ien-pao (742-755 M.). Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993: 95).

Berdsarkan keterangan mengenai panjangnya gnomon di tegah musim panasitu orang harus menetapkan letak Ho-ling ada pada 6,8 L.U., jadi tidak mungkin ada di jawa. Tetapi ada kemungkinan juga bahwa penulis Hsin-T’ang shu itu telah membuat dua kekeliruan, yaitu bahwa mestinya waktunya di tengah musim dingin, dan bahwa bayangan gnomon itu jatu di sebelah utaranya. Kalau pembetulan ini diterima, maka Ho-ling terletak pada6,8 L.S., jadi di pantai utara jawa.pemecahan seperti ini sesuai dengan lokalisasi Lang-pi-ya di desa Krapyak dekat gunung Lasem. Damais mengidentifikasikan Ho-ling dengan Walaing. Identifikasi itu mungkinsecara fonetis memang dapat di pertanggung jawabkan, tetapi sepanjang yang dapat di simpulkan dari sumber epigrafi, Walaingyang memang sering disebut sebagai nama tempat di dalam berbagai prasasti, tidak merupakan pusat kerajaan. Dari prasasti-prasasti kita ketahui bahwa kerajaan wangsa sailendra itu di sebut Mataram, dan ibu kotanya disebut Medang,sampai kejaman pemerintahan Pu Sindok. Letak ibukota Medang i Walaing. Desa Medaing memang di jumpai mulai dari daerah Bagelan di jawa tengah sampai di dekat Medium di Jwa Timur, tetapi yang terbanyak ialah Purwodadi/Grobogan dan Blora. Lokasi di daerah ini sesuai pula dengan keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan air garam, sebab memang di desa Kuwu di daerah Purwodadi/Grobogan itulah sehingap kini masih dijumpai apa yang dalam bahasa daerah di sebut Bledug, dan orang di situ memang membuat garam dari Bledug itu. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993: 96).

Dalam masa pemerintahan ratu sima atau Hssi-mo ada ancaman dari raja Ta-shih. Istilah Ta-shih merupakan transkripsi dari Tajika, yang biasa di gunakan untuk menyebut orang-orang arab di India. Tapi, mengenai raja Ta-shih tidak bisa di pastikan apakah dia orang arab yang tinggal di Indonesia dan membentuk kelompok ataukah dari kerajaan luar daerah Ho-ling, karena tidak ada lagi berita-berita yang menceritakan tentang Raja Ta-shih ini. Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto (jakarta, 1993: 97).

Mungkin ini saja sejarah tentang kerajaan Ho-ling atau kalingga, semoga artikel ini bermamfaat!!!



Referensi:

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Notosusanto, Nugroho. 1993. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

0 Response to "Kehidupan Masyarakat Dan Sistem Pemerintahan Kerajaan Kalingga Di Jawa Tengah"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel